Rabu, 12 Desember 2012

16.35 - No comments

Baterai Berbahan Gelas


Baterai menggunakan bahan dari gelas?
Bagaimana bisa gelas yang bersifat isolator dapat digunakan sebagai penghantar listrik?
Hmm, untuk lebih jelasnya, akan diuraikan penjelasannya berikut ini.

Teknologi baterai berbahan gelas ini ditemukan oleh Dr. Evvy Kartini. Di kalangan internasional, ia memiliki reptasi terhormat. Ia dikenal sebagai ilmuan penemu penghantar listrik berbahan gelas dengan teknik hamburan netron yang berdaya hantar sepuluh ribu kali lipat dari bahan sebelumnya. Peluangnya itu membuka peluang produksi isi ulang. Material kaca yang lebih elastis, secara logka dapat dibentuk semungil dan setipis mungkin. Sehingga baterai tidak lagi identik berpenghantar elektrolit cair.

Baterai isi ulang dipandang sebagai sumber energi ramah lingkungan di masa depan. Betapa tidak, setiap perangkat elektronik portabel modern menggunakan baterai sebagai sumber energi utamanya. Tak mengherankan jika para ilmuwan terus berpacu melakukan riset dan pengembangan teknologi penyimpanan energi listrik. Tak terkecuali ilmuwan Indonesia yang tak mau ketinggalan dalam riset dan pengembangan teknologi dasar baterai isi ulang. Profesor Riset Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Evvy Kartini, merupakan aset bangsa yang memiliki reputasi terhormat sebagai penemu teknologi dasar baterai isi ulang di kalangan ilmuwan berkaliber internasional.Awal Maret ini, Evvy mendapatkan undangan sebagai pembicara tamu di India dan Singapura untuk mendiskusikan perkembangan riset baterai mutakhir dan pemanfaatan teknik nuklir. Dia berencana “terbang” selama dua pekan untuk bertemu para profesor di sana. Mereka akan bertukar informasi tentang pemahaman baru mengenai solid state ionics dan penemuan material baru. Solid state ionics merupakan bidang sains dan teknologi yang pergerakan ionnya (ionics) sangat memegang peranan penting.
Menurut Evvy, jika terjadi pada padatan atau solid, pergerakan ion disebut solid state ionics. Solid state power ini lebih aman, mudah dipakai, bebas dari kebocoran, dan dapat dibuat dalam dimensi lebih kecil seperti lapisan tipis. Oleh sebab itu, bicara perkembangan riset baterai isi ulang, lanjut Evvy, tidak lepas dari peran solid state ionics. Pasalnya, pemanfaatan “cairan elektrolit” sebagai bahan baku baterai isi ulang sebelumnya memiliki beberapa kelemahan, di antaranya rentan mengalami kebocoran dan mudah terbakar apabila cairan tersebut terkena per cikan api.
“Maka, jika ‘padatan ionik’ ditemukan, penemuan besar akan terjadi karena kehadiran all solid state ionic devices, all solid state batteries, solid fuelcell, dan all solid capacitors sangat diperlukan sebagai sumber energi masa depan,” kata perempuan yang menyandang gelar doktor dari Fachbereich Physik, Technische Universitaet Berlin, Jerman, ini.


Formula Gelas
Dewasa ini, para ilmuwan di dunia tengah berlomba-lomba melakukan riset dan pengembangan solid state ionics.
Namun, kata Evvy, masalah utama riset solid state ionics ialah pencarian padatan superionik untuk elektrolit padat komponen baterai, yang memiliki konduktivitas tinggi pada suhu ruang. Untuk itu, Evvy melakukan penelitian dan pengembangan gelas superionik sebagai material baterai isi ulang. Gelas merupakan materi yang memiliki struktur acak (disorder) yang dikenal manusia berabad-abad lalu, dan ditemukan di Mesir sekitar 300 SM. Adapun gelas superionik terbentuk dari tiga komponen, yaitu pembentuk gelas, pengubah gelas, dan garam dopan.
Gelas superionik ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan elektrolit polikristal, termasuk tidak memiliki batas butir, mudah dibuat, memiliki suhu leleh rendah, dan konduktivitas ionik tinggi pada suhu ruang. Sejauh ini, Evvy telah memberikan kontribusi cukup besar dalam penelitian dan pengembangan gelas superionik (AgI)x(AgPO3)1-x lewat program Riset Unggulan Terpadu yang didanai Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Dia memanfaatkan material NH3H2- PO4 dan AgNO3 yang dipanaskan dalam furnace sampai meleleh pada suhu 400 derajat Celsius.
Lalu, formula tersebut didinginkan dengan cepat dalam lingkungan nitrogen cair, sehingga menghasilkan gelas bening dan transparan, yaitu AgPO3. “Jika ditambah AgI, produk gelas AgIAgPO3 berwarna kuning transparan,” kata Evvy yang merampungkan postdoctoral dari Departemen Fisika dan Astronomi Universitas McMaster, Hamilton, Kanada. Tahap uji coba gelas supersonik tersebut di antaranya lewat karakterisasi material elektrolit dan elektroda yang dihasilkan serta uji coba dalam performan baterai.
Karakterisasi paling penting adalah menguji sifat listrik dari gelas yang dibuat. Contohnya AgPO3 dengan konduktivitas ionik ~10E-7 S/cm (Siemen per sentimeter). Jika ditambah AgI produk gelas AgI-AgPO3, konduktivitas meningkat sepuluh ribu kali menjadi ~10E-3 S/cm. Hal itu terjadi pada gelas konduktor ionik lainnya, seperti pada gelas lithium LiPO3 dan LiI-LiPO3, walau konduktivitasnya lebih rendah dari gelas berbasis perak.
“Fenomena kenaikan konduktivitas inilah yang menjadi perhatian para peneliti di dunia untuk mengaji terjadinya proses dinamika ion transport di dalam gelas superionik,” terang perempuan kelahiran Bogor, 22 April 1965, itu.

Jantung Penelitian
Berbagai karakterisasi gelas supersonik telah dilakukan, di antaranya untuk memahami struktur kristal dan morfologi dengan difraksi sinar-X dan Scanning Electron Microscope (SEM), sifat listrik dan termal dengan LCR meter atau impedance spectroscopy, dan DSC (Diff erential Th ermal Calorimetric).
Sifat tersebut diperlukan untuk mengetahui kualitas bahan gelas yang dikembangkan. Namun, untuk mendalami perpindahan (transport) ion dalam gelas superionik, diperlukan teknik nuklir. Iptek nuklir yang penting dalam riset material adalah hamburan neutron. Dengan pemanfaatan teknik nuklir, jelas Evvy, keberadaan struktur dalam atom (ukuran angstrom atau sepersepuluh nanometer) dan bagaimana gerakan dan dinamika ion di dalamnya bisa dijawab. “Riset dan pengembagan gelas supersonik dengan teknik hamburan neutron ini merupakan jantung dari penelitian saya,” ujar Evvy.
Teknik ini memiliki keunggulan dalam mempelajari struktur kristal dan dinamika ion pada material. Sifat neutron yang tidak bermuatan dan ukuran panjang gelombang netron yang setara dengan jarak antar-atom dalam kisi kristal memudahkannya bergerak dan melihat apa yang terjadi di dalamnya.

Laboratorium Terkemuka
Gelas superionik yang dikembangkan di Indonesia dengan pelbagai teknik nuklir atau hamburan netron menggunakan fasilitas internasional untuk menelitinya, di antaranya ISIS Rutherford Appleton Laboratory Inggris, KEK Tsukuba Jepang, Chalk River Laboratory Kanada, Hahn Meitner Institute Berlin Jerman, Bragg Institute ANSTO, Australia, J-PARC JAEA Jepang, dan di Neutron Scattering Laboratory BATAN Indonesia.
Menurut Evvy, sifat dari gelas superionik yang memenuhi kriteria sebagai padatan elektrolit bisa dimanfaatkan sebagai elektrolit pada baterai isi ulang. “Kelebihan gelas superionik ramah lingkungan, tidak mengandung unsur berbahaya, selain mudah dibuat, serta dapat dibuat baterai lapisan tipis,” ujar Evvy. Baterai dengan material gelas superionik bisa didesain sedemikian rupa hingga memiliki ketebalan seperti kertas dengan luas sekitar ~ 5 mm (milimeter). Bahkan kapasitasnya bisa mencapai ~ 200 μAh/ cm2 (mikro-ampere hours per sentimeter persegi).
Keunikan dari baterai lapisan tipis dapat didepositkan secara langsung pada chip, pada sirkuit, dapat dibuat berbagai bentuk dan ukuran, serta aman pada berbagai kondisi operasi. Karena keunikan tersebut, baterai ini memiliki jangkauan aplikasi yang sangat luas sebagai sumber daya, terutama bagi pengguna produk elektronik dan industri, seperti produk medis, kartu pintar, dan sensor RFID. Namun, baterai dengan material gelas superionik belum dipasarkan secara luas karena masih dalam tahap riset.
Alasan lainnya ialah pengembangan material elektroda dan lapisan tipis baterai merupakan hasil kerja sama beberapa institusi di luar negeri sehingga tidak dapat langsung dipasarkan secara umum. “Ke depan, harga baterai lapisan tipis ini pun akan sangat tergantung karena memang belum ada di pasaran,” tutup Evvy.

Sumber Energi Mobil Masa Depan
Energi merupakan sumber kehidupan yang sangat vital sepanjang masa. Sektor energi merupakan komponen utama dalam dunia industri sehingga memiliki peran besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walau begitu, pemanfaatan energi tetap harus memenuhi persyaratan ramah lingkungan. Harapan pemanfaatan energi listrik ramah lingkungan itu tumbuh sejak Sony memperkenalkan baterai lithium isi ulang pada 1990. Kini, hasil riset dan pengembangan desain sel dan rekayasa baterai lithium isi ulang menunjukkan performa yang sangat signifi kan. Baterai isi ulang dengan kerapatan tinggi merupakan pilihan terbaik dan memiliki potensi pasar cukup besar.
Pasalnya, pasar masa depan membutuhkan baterai yang memiliki kerapatan energi tinggi dan kecepatan tinggi. Karena itu, teknologi nano pada baterai lapisan tipis akan mendunia pada masa mendatang. Generasi baterai paling mutakhir ukurannya lebih kecil, bobotnya lebih ringan, dan mampu menyimpan muatan lebih banyak. Pencapaian teknologi baterai lithium isi ulang ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya peralatan elektronik mini yang memanfaatkannya. Tak heran jika sekarang ini baterai lithium isi ulang telah menguasai pasaran industri elektronika, seperti telepon seluler, kamera digital, laptop, dan ipod.
Bahkan, perkembangan teknologi baterai telah memicu tren kendaraan listik hibrida pada masa mendatang yang lebih ramah lingkungan. “Salah satu peran teknologi baterai dalam sektor transportasi adalah penggunaan kendaraan listrik dengan kapasitas 17 sampai 40 MWh untuk mengurangi emisi karbondioksida (CO2),” ukap Profesor Riset dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Evvy Kartini.


Sumber:


0 komentar:

Posting Komentar